Nurhayati Sri
Hardini Siti Nukatin, alias Nh.
Dini masih tetap aktif di usianya yang ke- 76. Sastrawan, novelis, sekaligus
feminis ini melahirkan karya barunya berupa buku Pondok Baca Kembali Ke
Semarang tahun 2011 lalu.
Wanita
kelahiran Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936 ini telah meluncurkan bukunya
di Toko Buku Gramedia Amaris Semarang. "Buku Pondok Baca Kembali ke
Semarang" mengisahkan saat Dini kembali ke Tanah Air tahun 1980. Setelah
mondar-mandir antara Jakarta dan Semarang, tahun 1985. Peluncuran buku ini
sekaligus ditandai dengan Diskusi Buku dan Perjalanan Sastra bersama Nh Dini
yang dipandu budayawan Semarang Prie GS.
Nh Dini
dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima
bersaudara, yang ulangtahunnya
dirayakan empat tahun sekali. Nh. Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga
SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran
dan perasaannya sendiri. Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia
memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya.
Dini ditinggal
wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa
penghasilan tetap. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu
itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek.
Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang
ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran
nasional di [RRI]
Semarang dalam
acara Tunas Mekar.
Beberapa karya
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama Nh. Dini, ini yang
terkenal, diantaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-rang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum
termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita
kenangan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia
mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti
komentar Putu Wijaya; ‘kebawelan yang
panjang’. Novel barunya yang berjudul Buku Pondok Baca
Kembali ke Semarang (2011) mengisahkan saat Dini kembali ke Tanah Air tahun
1980.
Wanita yang menyukai tanaman ini
hingga kini
telah menulis
lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang
wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa
“aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri.
Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir
tidak dikenalinya lagi.
Ia juga pernah ditawari bekerja tetap
pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi
pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini,
kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka
lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya
malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya;
tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.
Menyinggung
soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia
menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang
pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan
kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya.(Kutipan dari berbagai sumber; Ade)